Panas Bumi

Kolaborasi Etis untuk Mewujudkan Energi Panas Bumi yang Berkelanjutan di Flores

Kolaborasi Etis untuk Mewujudkan Energi Panas Bumi yang Berkelanjutan di Flores
Kolaborasi Etis untuk Mewujudkan Energi Panas Bumi yang Berkelanjutan di Flores

JAKARTA - Pulau Flores kini menjadi simbol ambisi besar Indonesia dalam mengembangkan energi bersih berbasis panas bumi. 

Namun, di balik upaya menuju keberlanjutan, muncul persoalan yang lebih dalam: bagaimana memastikan bahwa kemajuan teknologi energi tidak mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan dan budaya lokal. 

Pulau yang dijuluki “Pulau Panas Bumi Flores” ini menghadapi tantangan etis ketika pembangunan dilakukan lebih cepat daripada proses konsultasi dengan masyarakat yang tinggal di atas tanah tersebut.

Bagi masyarakat di Wae Sano dan wilayah sekitarnya, tanah bukan sekadar tempat tinggal, tetapi juga simbol identitas dan spiritualitas. Ketika proyek panas bumi ditetapkan tanpa partisipasi mereka, muncul rasa terabaikan dan kehilangan kendali atas tanah adat. 

Seperti diungkapkan seorang tetua adat, memperlakukan gunung semata sebagai lokasi industri berarti mengancam dasar kehidupan sosial dan budaya mereka. Pendekatan yang lebih inklusif diperlukan agar masyarakat dapat menjadi bagian dari perubahan, bukan sekadar penerima dampak.

Kebijakan yang terlalu top-down menimbulkan kesenjangan antara visi pemerintah dan kebutuhan warga lokal. Padahal, sejumlah desa di Flores menunjukkan bahwa dialog terbuka, negosiasi setara, serta perlindungan terhadap situs budaya dapat menciptakan bentuk pembangunan energi yang lebih etis dan saling menghormati. 

Hal ini menandakan bahwa keberhasilan energi bersih tidak hanya diukur dari kapasitas megawatt, tetapi juga dari legitimasi moral dan penerimaan masyarakat.

Etika Publik dan Legitimasi Moral dalam Pembangunan Energi

Tantangan utama dalam pengembangan panas bumi di Flores bukanlah soal teknologi, melainkan tentang etika dalam pelaksanaannya. Prinsip legitimasi moral menjadi dasar yang harus ditegakkan. 

Setiap proyek energi harus dijalankan dengan Persetujuan Bebas, Didahulukan, dan Diinformasikan (Free, Prior, and Informed Consent/FPIC). Tanpa persetujuan tersebut, legalitas formal proyek kehilangan dasar moralnya. Legitimasi sejati hanya lahir dari partisipasi masyarakat, bukan sekadar izin administratif.

Kasus di Flores memperlihatkan bahwa tanpa FPIC, masyarakat cenderung melakukan perlawanan dalam bentuk petisi, penolakan, atau boikot pertemuan. 

Tindakan ini bukan bentuk penolakan terhadap energi bersih, melainkan upaya mempertahankan hak untuk dilibatkan. Keberlanjutan sejati hanya dapat terwujud jika kebijakan publik menghargai martabat manusia dan menghormati hak-hak sosial masyarakat adat.

Selain itu, pelanggaran terhadap keadilan ekologis menjadi perhatian penting. Menganggap alam sebagai sumber daya ekonomi semata tanpa mempertimbangkan keseimbangan ekologis dapat menimbulkan dampak luas, mulai dari menurunnya kualitas air, hasil pertanian, hingga hilangnya sumber penghidupan masyarakat pedesaan. 

Ketika lingkungan rusak, kesejahteraan masyarakat pun ikut terganggu. Karena itu, setiap langkah pengembangan energi perlu didasarkan pada rasa tanggung jawab terhadap bumi dan manusia yang hidup di atasnya.

Transparansi, Partisipasi, dan Inovasi dalam Tata Kelola Energi

Keterbukaan informasi menjadi kunci membangun kepercayaan antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat. Transparansi data mengenai studi lingkungan, uji air tanah, maupun rencana eksplorasi harus dapat diakses publik. 

Dengan data yang terbuka, masyarakat memiliki kesempatan untuk menilai risiko dan memberi masukan sebelum proyek berjalan. Ketika informasi disembunyikan, ketidakpercayaan akan tumbuh dan memperlambat kemajuan.

Untuk memperkuat transparansi, perlu dibentuk sistem pemantauan berbasis komunitas, portal data publik, serta forum terbuka tempat semua pihak dapat berdialog. 

Pendekatan ini memungkinkan pengawasan kolektif, menghindari konflik, dan memastikan proses pembangunan berjalan sesuai prinsip keadilan. Dengan keterlibatan aktif masyarakat, proyek energi dapat berubah dari pendekatan top-down menjadi kolaborasi sejati.

Energi bersih memang sangat dibutuhkan, tetapi tidak semua lokasi cocok untuk dikembangkan. Sebagian wilayah memiliki nilai ekologis dan budaya yang terlalu berharga untuk digantikan oleh keuntungan ekonomi. 

Dalam situasi di mana data dan risiko belum sepenuhnya jelas, prinsip kehati-hatian harus diutamakan. Energi yang benar-benar berkelanjutan adalah energi yang tidak hanya bersih secara teknologi, tetapi juga bersih secara moral dan sosial.

Menuju Dialog Etis dan Pembangunan yang Inklusif

Ke depan, pembangunan energi panas bumi di Flores membutuhkan pendekatan yang lebih etis, dialogis, dan transparan. Salah satu langkah konkret yang diusulkan adalah pembentukan Forum Energi Etis Flores. 

Forum ini diharapkan menjadi wadah pertemuan antara pemerintah, masyarakat adat, perusahaan, dan akademisi untuk membahas setiap tahapan proyek secara terbuka. Melalui forum ini, suara masyarakat lokal dapat benar-benar terdengar dan diintegrasikan dalam kebijakan energi nasional.

Partisipasi aktif masyarakat bukan sekadar formalitas, tetapi inti dari keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan. Dewan energi komunitas dapat menjadi model tata kelola baru yang mendorong kepemilikan bersama terhadap proses pembangunan. 

Ketika masyarakat turut menentukan arah pembangunan, mereka akan merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap keberhasilannya.

Pada akhirnya, keberhasilan energi bersih di Flores tidak hanya akan diukur dari berapa banyak listrik yang dihasilkan, tetapi dari seberapa besar rasa keadilan dan kepercayaan yang berhasil dibangun. 

Keberlanjutan sejati adalah ketika kemajuan teknologi berjalan beriringan dengan pelestarian budaya, penghormatan terhadap alam, dan perlindungan martabat manusia. Energi bersih akan bermakna ketika cahaya yang menyala tidak mengaburkan nurani kemanusiaan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index