JAKARTA - Di tengah kemajuan teknologi yang pesat, generasi muda menghadapi tekanan baru yang sebelumnya jarang ditemui. Kehidupan digital yang serba cepat, interaksi di media sosial, serta arus informasi tanpa henti menghadirkan tantangan tersendiri bagi kesehatan mental. Kini, menjaga keseimbangan emosional bukan sekadar soal menghindari stres, tetapi bagaimana tetap stabil di tengah gelombang dunia maya yang terus bergerak.
Fenomena ini menjadi perhatian khusus di kalangan mahasiswa dan pelajar, yang sering kali menjadi korban tekanan untuk selalu terlihat sempurna di media sosial. Nuranti, seorang mahasiswa Gen Z dari Universitas Bengkulu, menyoroti dampak media sosial terhadap generasi muda. Ia menilai, “Dorongan untuk selalu tampil sempurna di media sosial sering kali menimbulkan rasa tidak percaya diri dan membuat sebagian anak muda terjebak dalam perbandingan yang tidak sehat. Tak sedikit yang akhirnya memaksakan diri untuk tampil seperti apa yang tengah populer di media sosial.”
Menurut Nuranti, kesehatan mental erat kaitannya dengan kestabilan emosional dan kemampuan mengendalikan kecemasan. “Kalau menurut saya pribadi, kesehatan mental itu ketika kita mampu stabil dalam hal tidak mengalami kecemasan. Biasanya kestabilan mental itu berhubungan dengan kecemasan,” ujarnya. Pandangan ini mencerminkan kesadaran generasi muda akan pentingnya menjaga kesehatan mental sebagai bagian dari kualitas hidup sehari-hari, terutama dalam menghadapi tekanan digital.
Tidak hanya generasi muda yang merasa terdampak, para pendidik dan tenaga profesional juga menekankan pentingnya strategi untuk mengatasi tantangan tersebut. Tense, guru agama Islam, menegaskan bahwa menjaga kesehatan mental bukan sekadar menghindari masalah, melainkan menciptakan ruang positif dalam kehidupan. “Saya melakukannya dengan tetap aktif mengeksplor hal-hal baru, menjaga hobi, serta membagi waktu antara pekerjaan dan aktivitas pribadi. Untuk menjaga kesehatan mental saya,” ujarnya.
Sementara itu, Rafinita Aditia, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Bengkulu, menekankan peran kesadaran diri dalam menjaga kesehatan mental. Menurutnya, kendali atas kondisi mental sangat bergantung pada individu. “Yang paling bagus dilakukan Gen Z itu dengan mengatur tempo dan waktu menggunakan gadget. Kalau kita tidak atur, bangun tidur sampai mau tidur bisa terus-terusan scroll,” jelasnya.
Rafinita menambahkan bahwa kesehatan mental tidak hanya tentang menghindari stres, tetapi juga bagaimana mengelola diri di tengah derasnya arus digital. Dengan literasi yang baik, kesadaran diri, dan manajemen waktu, generasi muda diharapkan mampu meminimalkan dampak negatif media sosial terhadap psikologis mereka. Lebih dari itu, dukungan lingkungan—baik keluarga maupun teman—memegang peranan penting agar isu kesehatan mental tidak lagi terabaikan.
Fenomena tekanan digital ini tidak terbatas pada satu kota atau kelompok tertentu. Data global menunjukkan bahwa generasi muda di berbagai negara mengalami kecemasan, depresi, hingga gangguan tidur akibat keterpaparan media sosial dan tuntutan untuk selalu tampil sempurna. Bahkan, beberapa penelitian mengaitkan penggunaan media sosial yang berlebihan dengan penurunan rasa percaya diri, frustrasi, dan isolasi sosial.
Strategi menjaga kesehatan mental di era digital bisa dimulai dari hal sederhana, seperti menentukan batas waktu penggunaan gadget, melakukan kegiatan fisik, dan memprioritaskan interaksi nyata dengan orang terdekat. Aktivitas kreatif, olahraga, meditasi, hingga hobi tertentu terbukti efektif dalam menurunkan tingkat stres dan meningkatkan kesejahteraan emosional.
Selain itu, pendidikan literasi digital menjadi kunci penting. Generasi muda perlu memahami bahwa konten di media sosial sering kali hanya menampilkan sisi terbaik seseorang, bukan gambaran nyata kehidupan sehari-hari. Dengan pemahaman ini, mereka dapat mengurangi tekanan untuk selalu membandingkan diri dengan orang lain, sekaligus meningkatkan kepercayaan diri dan kesehatan mental.
Penting juga bagi institusi pendidikan dan organisasi masyarakat untuk memberikan dukungan dan ruang bagi generasi muda agar dapat berbicara tentang masalah mental mereka tanpa stigma. Konseling, seminar kesehatan mental, dan program pembelajaran sosial-emosional menjadi sarana yang efektif untuk membekali generasi muda menghadapi tantangan digital.
Dalam konteks ini, peran orang tua juga tidak kalah penting. Komunikasi terbuka, perhatian terhadap perubahan perilaku, serta memberikan dukungan emosional bisa membantu anak-anak dan remaja menavigasi dunia digital dengan lebih aman. Kombinasi antara kesadaran diri, edukasi, dan dukungan sosial menciptakan ekosistem yang memungkinkan kesehatan mental tetap terjaga, meski berada di tengah arus informasi yang cepat.
Kesadaran akan pentingnya kesehatan mental di era digital seharusnya tidak lagi dianggap tabu. Generasi muda, tenaga pendidik, dan masyarakat secara umum perlu bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang mendukung kesejahteraan psikologis. Dengan demikian, anak muda tidak hanya mampu menghadapi tantangan media sosial, tetapi juga tumbuh menjadi individu yang seimbang, kreatif, dan tangguh.
Kesehatan mental bukan sekadar masalah individu, melainkan isu kolektif yang membutuhkan perhatian dari berbagai pihak. Era digital membawa banyak keuntungan, tetapi juga risiko yang nyata bagi kesejahteraan psikologis. Mengelola tekanan ini dengan strategi tepat, dukungan lingkungan, serta literasi digital yang baik menjadi langkah penting agar generasi muda tetap sehat secara mental, produktif, dan siap menghadapi masa depan.