JAKARTA - Kabut tipis yang menyelimuti kawasan Bukit Wolowio, Flores, Nusa Tenggara Timur, menjadi saksi perjalanan panjang para petani Ngada merawat kopi arabika.
Di balik pemandangan hijau yang menyejukkan itu, terhampar kebun kopi arabika (Coffea arabica) yang tumbuh subur di bawah naungan pohon ampupu (Eucalyptus urophylla). Dari kawasan ini, aroma kopi khas Flores perlahan menembus pasar internasional berkat ketekunan para petani menjaga mutu dan konsistensi hasil panen.
Anselmus Menge, mantan ketua Kelompok Tani Fa Masa di Desa Beiwali, mengisahkan bagaimana perjalanan panjang para petani dalam membangun kembali kejayaan kopi Flores. Sejak tahun 2000, kopi arabika dan robusta dari wilayah ini mulai diperkenalkan kepada pembeli luar negeri.
Pemerintah daerah bersama lembaga swadaya masyarakat berperan penting dalam melatih petani agar memahami teknik budidaya dan menjaga kualitas hasil panen. Tahun 2004 menjadi tonggak penting ketika kelompok tani Fa Masa terbentuk.
Dari sinilah, masyarakat mulai menanam kopi arabika varietas S759, jenis yang telah dikenal sejak awal 1970-an. Menurut Anselmus, petani dulu menanam kopi terlalu rapat, hanya berjarak 1–1,5 meter.
Setelah mendapat pelatihan, jarak tanam diperlebar menjadi 2,5 x 2,5 meter agar tanaman mendapatkan cukup sinar matahari dan nutrisi. “Ini penting, agar setiap tanaman mendapatkan akses yang cukup terhadap cahaya matahari, air, dan nutrisi tanah,” ujarnya.
Dari Panen Selektif hingga Harga Kopi Premium
Tidak hanya soal jarak tanam, perubahan besar juga terjadi pada teknik pemetikan dan pengolahan. Petani kini diajarkan memetik buah kopi yang benar-benar matang, sekitar 95% berwarna merah. Pemetikan dilakukan satu per satu, bukan ditarik sekaligus dari ranting agar kualitas tetap terjaga.
Rini So’o, warga Desa Beiwali, mengungkapkan bahwa curah hujan tinggi kerap membuat banyak bunga kopi gugur. Namun, petani sudah memahami pola panen yang berlangsung antara April hingga Oktober.
Ia menjelaskan, ada dua metode pemetikan: selektif (selectively pick) dan petik racutan (strip pick). Setelah panen, biji kopi difermentasi selama 38 jam sebelum dijual. Hasilnya, petani menjual dua jenis produk: Hard Skin (HS) basah dan HS kering. HS basah memiliki kadar air 45–50%, sementara HS kering hanya 12%.
Harga kopi arabika basah mencapai Rp25.000 per liter, sedangkan yang kering bisa mencapai Rp80.000 per kilogram. Perbedaan harga ini menunjukkan betapa pentingnya proses pengeringan dan fermentasi yang tepat.
Peremajaan dan Perawatan, Kunci Produktivitas Kopi
Sebagian besar tanaman kopi di Ngada berumur sekitar 20 tahun. Karena itu, banyak petani mulai melakukan peremajaan untuk menjaga produktivitas. Anselmus mengaku, salah satu kebunnya sudah diremajakan sejak 2023. Kini, pohon kopi yang baru tumbuh setinggi 1,5 meter sudah mulai berbuah dalam dua tahun.
“Sebelum peremajaan, ada yang tingginya lima meter dan harus menggunakan tangga memetiknya,” ungkapnya.
Peremajaan dilakukan melalui teknik sambung pucuk dan sambung tunas, sementara pemangkasan rutin dilakukan tiga bulan sekali agar pohon mendapat sinar matahari cukup. Dari hasil perawatan tersebut, produksi meningkat signifikan.
“Satu hektar lahan kopi arabika bisa menghasilkan 1,5 bahkan 1,7 ton dari sebelumnya hanya 1 ton,” jelas Anselmus. Peningkatan hasil panen ini membuktikan bahwa inovasi sederhana di tingkat petani mampu memberikan dampak ekonomi yang nyata.
Kesadaran untuk terus memperbarui teknik tanam dan menjaga ekosistem menjadi fondasi penting bagi keberlanjutan pertanian kopi di Flores.
Dari Edukasi Lingkungan hingga Pengakuan Dunia
Wakil Bupati Ngada, Bernadinus Dhey Ngebu, mengakui bahwa perubahan pola pikir petani tidak terjadi secara instan. “Dulu susah mengajak masyarakat untuk tidak menggunakan bahan kimia. Namun, belakangan ini para petani perlahan beralih ke pupuk organik, sebab harga jual kopinya lebih mahal,” ujarnya.
Pemerintah desa turut mendukung upaya ini dengan menerbitkan aturan yang melarang penggunaan bahan kimia untuk menyemprot rumput serta larangan membakar lahan.
Petani juga diwajibkan membersihkan kebun minimal tiga kali setahun serta membuat lubang rorak sebagai tempat pupuk kandang. Langkah ini terbukti efektif menjaga keseimbangan ekosistem dan kesuburan tanah.
Bernadinus berharap petani tetap setia pada kopi arabika meskipun terkadang harga komoditas lain lebih tinggi. “Saat tertentu, kopi arabika agak sulit berproduksi karena itu harus kita antisipasi,” pesannya.
Berdasarkan data BPS NTT, produksi kopi di wilayah ini pada 2021 mencapai 25.896 ton, dengan kontribusi terbesar dari Pulau Flores sebesar 21.822 ton. Kabupaten Ngada sendiri menyumbang lebih dari 3.300 ton.
Produk kopi Flores Bajawa dan Kopi Flores Manggarai bahkan pernah tampil dalam Sidang Majelis Umum ke-65 Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia (WIPO) di Jenewa dan menjadi sajian resmi bagi para delegasi KTT ASEAN serta G20 di Labuan Bajo.
Pencapaian ini menunjukkan bahwa ketekunan petani menjaga kualitas dan menerapkan praktik ramah lingkungan mampu mengangkat nama Flores di kancah dunia.
Dari lereng Bukit Wolowio, semangat para petani Ngada menjadi inspirasi bahwa keberhasilan bukan hanya soal hasil panen, tetapi tentang komitmen menjaga bumi dan budaya yang telah diwariskan turun-temurun.