JAKARTA - Pasar keuangan global semakin ramai dengan penerbitan obligasi berkelanjutan di negara-negara berkembang.
Instrumen ini menjadi salah satu pilihan utama bagi investor yang peduli terhadap lingkungan dan stabilitas ekonomi. Kontribusi pasar berkembang pada total penerbitan kini mencapai 18% dengan nilai setara US$310,49 miliar. Perkembangan ini menunjukkan tren positif dari sisi pendanaan hijau di dunia.
Penerbitan instrumen berkelanjutan diharapkan mendukung pembiayaan transisi energi sekaligus membuka jalan untuk peningkatan investasi di sektor ramah lingkungan. Namun, posisi Indonesia justru masih menghadapi tantangan karena kinerjanya mengalami penurunan.
Tren Pertumbuhan di Emerging Markets
Bloomberg ESG Analyst Grace Osborne menyampaikan dalam catatannya bahwa jatuh tempo surat utang berkelanjutan di emerging markets akan mendorong gelombang pembiayaan kembali.
“Lebih dari 30% dari nilai outstanding dari obligasi berkelanjutan mencapai jatuh tempo pada akhir 2026,” tulis Osborne. Kondisi ini diperkirakan menjadi peluang sekaligus tantangan bagi penerbit baru maupun lama.
China memimpin penerbitan surat utang berkelanjutan di kawasan ini. Hingga saat ini, nilainya menembus US$123,17 miliar, mendekati total penerbitan sepanjang 2024 yang sebesar US$128,39 miliar. Dominasi tersebut menegaskan peran China sebagai penggerak utama pendanaan hijau di Asia.
Selain China, kawasan Asia Pasifik secara keseluruhan menunjukkan performa yang unggul. Fokus utama penerbitan tetap diarahkan pada investasi energi bersih. Hal ini konsisten dengan tren tahun sebelumnya yang menunjukkan peningkatan dukungan pada pembiayaan proyek ramah lingkungan.
Posisi Negara Asia Lainnya
Korea Selatan dan Taiwan ikut mencatatkan posisi kuat dalam daftar penerbitan obligasi berkelanjutan. Korea Selatan berhasil mencapai nilai US$38,21 miliar, sedangkan Taiwan mencatatkan US$20,32 miliar per Agustus 2025. Angka ini menjadikan keduanya sebagai pemain penting setelah China di kawasan Asia.
Turki dan India juga masuk dalam kelompok negara dengan penerbitan berkelanjutan bernilai dua digit. Turki menorehkan US$15,49 miliar, sedangkan India menutup angka pada US$10,98 miliar. Data ini mengindikasikan bahwa tren penerbitan berkelanjutan semakin luas jangkauannya di emerging markets.
Indonesia justru menunjukkan performa yang berbeda dibandingkan negara Asia lainnya. Penerbitan obligasi berkelanjutan dari Indonesia hanya mencapai US$3,36 miliar hingga Agustus 2025. Jumlah tersebut turun tajam dari 2024 yang mencatatkan US$7,26 miliar, menandakan perlunya strategi baru untuk meningkatkan daya saing.
Perbandingan dengan Kawasan Amerika Latin
Berbeda dari Asia Pasifik, kawasan Amerika Latin memperlihatkan tren penurunan dalam penerbitan obligasi berkelanjutan. Padahal kawasan ini menjadi tuan rumah konferensi iklim PBB COP30 pada tahun berjalan.
Bloomberg Intelligence ESG Senior Strategist Chris Ratti menegaskan adanya penurunan 61% hingga Agustus 2025 dibandingkan periode 12 bulan sebelumnya.
Brasil sebagai tuan rumah COP30 juga mencatatkan penurunan signifikan. Nilainya turun 48% dari US$11,89 miliar pada 2024 menjadi US$6,02 miliar. Penurunan tersebut disebut mengejutkan, mengingat kawasan ini memiliki tingkat risiko bencana alam yang sangat tinggi.
“Penurunan ini mengejutkan karena Amerika Latin merupakan kawasan paling berisiko bencana kedua di dunia. Setidaknya terdapat lebih dari 2.300 bencana alam sepanjang 2000–2024.
Penawaran yang turun dari pemerintah menjadi penyebab tren ini,” tulis Ratti. Kondisi ini mencerminkan perlunya kebijakan lebih agresif untuk menjaga momentum penerbitan berkelanjutan.
Implikasi bagi Indonesia
Perbandingan antarnegara menunjukkan bahwa Indonesia masih tertinggal dari segi penerbitan instrumen berkelanjutan. Meski potensinya besar, kinerja yang menurun menandakan masih adanya hambatan dalam mendorong sektor ini.
Perlu ada strategi untuk meningkatkan daya tarik instrumen hijau di mata investor global. Penguatan regulasi, transparansi, serta dukungan kebijakan berkelanjutan dapat menjadi faktor kunci.
Di sisi lain, pengalaman negara Asia lain seperti China, Korea Selatan, dan Taiwan bisa dijadikan referensi untuk mempercepat pengembangan pasar. Jika langkah strategis diambil, Indonesia berpeluang memperluas kontribusi terhadap pasar obligasi berkelanjutan dunia.
Penerbitan obligasi berkelanjutan di emerging markets terus tumbuh dengan kontribusi besar dari Asia Pasifik. China, Korea Selatan, dan Taiwan menjadi motor penggerak utama, sementara Indonesia masih menghadapi penurunan.
Di sisi lain, Amerika Latin justru mengalami anomali dengan tren penerbitan yang melemah meski risiko bencana sangat tinggi. Bagi Indonesia, kondisi ini bisa menjadi refleksi sekaligus dorongan untuk memperbaiki strategi.
Dengan meningkatkan daya tarik instrumen berkelanjutan dan memperkuat ekosistem investasi hijau, Indonesia dapat memperbesar peran dalam mendukung pembiayaan global. Pada akhirnya, penerbitan berkelanjutan bukan hanya soal angka, tetapi juga tentang komitmen terhadap masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan.