JAKARTA - Presiden Prabowo Subianto diminta berhati-hati terkait rencana pengerahan Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke Gaza-Palestina melalui Pasukan Stabilitas Internasional (ISF).
Pengamat Militer dan Pertahanan dari Lembaga Studi Pertahanan dan Strategis Indonesia (Lesperssi), Beni Sukadis, menegaskan bahwa ISF tidak memiliki mandat resmi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
“Pendirian pasukan lewat ISF dalam menjaga perdamaian di Gaza-Palestina, tidak memiliki dasar hukum atau legitimasi dari PBB dan hukum internasional,” jelas Beni.
Menurutnya, bergabung dengan ISF berisiko tinggi karena pasukan ini belum mendapat pengakuan hukum internasional, sehingga berpotensi menghadapi perlawanan dari faksi bersenjata di Palestina, terutama Hamas di Gaza.
Beni menekankan pentingnya Presiden Prabowo mempertimbangkan keamanan dan legitimasi hukum internasional. Jika TNI ikut dalam ISF, mereka bisa menjadi sasaran konflik tanpa perlindungan hukum yang jelas, yang berpotensi membahayakan misi perdamaian Indonesia.
Peran TNI Lebih Aman melalui Mandat PBB
Meskipun ISF diinisiasi oleh Amerika Serikat, Beni menilai Indonesia sebaiknya menunggu resolusi Dewan Keamanan PBB untuk berpartisipasi dalam Pasukan Keamanan PBB (PKO). “Sebaiknya RI menunggu resolusi DK PBB untuk ikut serta dalam pasukan PKO yang lebih memiliki legitimasi hukum internasional,” ujarnya.
Dengan mandat PBB, keberadaan TNI dalam misi perdamaian menjadi sah secara hukum internasional dan memberikan perlindungan bagi prajurit Indonesia di medan operasi. Selain itu, keikutsertaan melalui PBB dipandang lebih efektif untuk mendukung upaya penyelesaian damai dan menjaga stabilitas di Gaza-Palestina.
Beni menambahkan bahwa keterlibatan Indonesia melalui jalur PBB juga lebih berarti dalam jangka panjang. “Dengan demikian, upaya penyelesaian damai akan lebih bermakna, dan penyelesaian konflik lebih kondusif serta berdampak jangka panjang,” kata Beni.
KTT Sharm el-Sheikh dan Tantangan Peace Plan AS
Beni menyoroti rencana perdamaian yang digagas oleh KTT Sharm el-Sheikh antara AS dan beberapa negara Timur Tengah. Ia menekankan bahwa kesepakatan tersebut tidak melibatkan otoritas Palestina maupun Hamas secara langsung, sehingga optimisme terhadap perdamaian masih rendah.
“Peace plan Trump, sebenarnya adalah gencatan senjata yang ditandatangani hanya oleh AS, dan beberapa negara Timur Tengah saja, tanpa melibatkan kelompok-kelompok dari Palestina,” jelas Beni. Ia menilai rencana tersebut berisiko gagal karena tidak mencakup seluruh pihak yang berkonflik.
Lebih lanjut, proposal pembentukan ISF dimaksudkan untuk menekan Hamas agar melucuti persenjataannya, tetapi pendekatan ini berpotensi menimbulkan konflik baru. Keterlibatan Indonesia dalam skema seperti ini, menurut Beni, sebaiknya dihindari untuk menjaga netralitas dan fokus pada misi kemanusiaan.
Saran Strategis untuk Indonesia
Beni kembali menekankan bahwa Indonesia perlu berhati-hati dalam langkahnya. Mandat PBB menjadi landasan yang lebih kuat untuk pengerahan TNI, memastikan peran Indonesia dalam misi perdamaian tidak menimbulkan risiko baru.
Langkah ini sekaligus memperkuat posisi diplomasi Indonesia, menunjukkan bahwa keterlibatan militer dilakukan dengan dasar hukum internasional, transparan, dan berorientasi pada perlindungan warga sipil serta stabilitas kawasan.
Ia menegaskan, partisipasi Indonesia melalui mekanisme PBB memberikan legitimasi, keamanan, dan efektivitas misi, dibandingkan ikut dalam ISF yang dibentuk di luar kerangka hukum internasional.
Dengan demikian, Presiden Prabowo dapat memastikan peran TNI memberikan kontribusi positif bagi perdamaian di Gaza-Palestina, sekaligus menjaga citra Indonesia di kancah internasional.